spoon

Recent Recipes

KAMPUNG BETAWI ORA

Foto Saya
KAMPUNG BETAWI ORA
Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Selain untuk berbagi informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan betawi, ini juga adalah tempat untuk menjalin silaturahmi dan menggalang kebersamaan bagi saudara-saudara dari betawi khususnya. Terbuka juga untuk umum bila ingin memberikan saran dan komentar yang positif dan membangun. Di Kampung ini, semua orang boleh memberi saran dan kritik. Dengan syarat : harus positif dan membangun. Karena tujuan dibuatnya kampung ini yaitu untuk menambah pengetahuan tentang Betawi dan menggalang kebersamaan serta menjalin silaturahmi dengan sebanyak-banyaknya orang. Jadi, Nyo ah, kita pada rempug...
View my complete profile

- BETAWI - DARI MASA KE MASA

Comments (2) |

KERAJAAN TARUMANAGARA
Dalam terjemahan naskah PUSTAKA PARARATWAN I BHUMI JAWADWIPA parwa 1 sarga 1 halaman 70-71 dituliskan antara lain sebagai berikut :

“Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan”.

Perang itu terjadi tahun 267 Saka (345 Masehi). Kedua Raja dari kerajaan yang kalah, Maharaja Hastiwarman dari Calankayana dan Maharaja Wisnugopa dari Pallawa, adalah dua raja yang bersahabat akrab satu sama lain. Setelah mereka dikalahkan lalu yang masih selamat masing-masing lari menyelamatkan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung, ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya pergi ke seberang laut, seperti ke Semenanjung Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana dan sebagainya.
Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya (Kelak, setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman VIII (Raja terakhir Salakanegara = Banten sekarang). Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi bernama Jayasingawarman dai Calankayana, bersama pengikutnya, ikut melarikan diri dan tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (Barat). Di sebelah barat Citarum, Beliau mendirikan pedukuhan yang kemudian diberinama Taruma-Desya. Wilayah ini termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.
Kira-kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar karena banyak penduduk dari desa-desa lain datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu telah menjadi negara. Jayasingawarman terus berusaha memperbesar negaranya sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama TARUMANAGARA. Ia lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.

Situs Candi Batu Jaya - Karawang


RAJA-RAJA DI KERAJAAN TARUMANAGARA
Sejak berdiri hingga akhir masa kejayaannya

  1. Jayasingawarman Gurudarmapurusa Sang Maharesi Rajadirajaguru (Menantu Dewawarman VII, Raja Salakanagara yang beribukota di Rajatapura (Gunung Pulosari, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang sekarang).Menjadi raja Tarumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358-382 Masehi). Ia wafat dalam usia 60 tahun dan dipusarakan di tepi kali Gomati.
  2. Ia digantikan putera sulungnya yang bernama Rajaresi Darmayawarmanguru.Ia menjadi raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382 – 395 Masehi). Ia disebut juga sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga) karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau Kali Bekasi).
  3. Digantikan oleh putranya yang bernama Purnawarman yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395 – 434 Masehi).Purnawarman dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga pada tanggal 13 Bagian Terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk hidup di pertapaan menempuh Manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba). Setelah kerajaan Taruma menjadi besar dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati. Sri Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum sehingga mendapat sebutan Sang Lumah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).
  4. Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawarman, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan nama nobat Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. Ia dinobatkan menjadi raja Tarumanagara ke empat pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).
  5. Digantikan oleh puteranya, Sang Indrawarman sebagai raja Tarumanagara ke lima dengan nama nobat Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).
  6. Digantikan oleh putranya Sang Candrawarman sebagai raja Tarumanagara ke enam dengan nama nobat Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).
  7. Digantikan oleh putranya Sang Suryawarman sebagai raja Tarumanagara ke tujuh dengan nama nobat Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).
  8. Digantikan oleh putranya Sang Kretawarman sebagai raja Tarumanagara ke delapan dengan nama nobat Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).
  9. Karena tidak punya keturunan, digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman sebagai raja Tarumanagara ke sembilan dengan nama nobat Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).
  10. Digantikan oleh putranya Sang Dewamurti sebagai raja Tarumanagara ke sepuluh dengan nama nobat Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).
  11. Digantikan oleh putranya Sang Nagajaya sebagai raja Tarumanagara ke sebelas dengan nama nobat Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).
  12. Digantikan oleh putranya Sang Linggawarman sebagai raja Tarumanagara ke dua belas dengan nama nobat Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).
  13. Ia digantikan oleh menantunya Sang Tarusbawa sebagai penerus tahta Tarumanagara dengan nama nobat Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai raja kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura) sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan batas sungai Citarum, memerdekakan diri menjadi kerajaan Galuh di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun. Langkah Sang Tarusbawa berikutnya memindahkan ibukota kerajaan dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor).
Sejak saat inilah, mungkin bisa dikatakan sebagai akhir dari masa kerajaan Tarumanagara dan dinasti Warman (wangsa Warman) dan merupakan awal dari masa Kerajaan Sunda sebagai peralihan dari kerajaan Tarumanagara.



SEJARAH BETAWI
Kebudayaan Betawi secara umum merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker).

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi--dalam arti apapun juga--tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
(dari berbagai sumber).


Read More......

2 komentar:

wow man thanks for helping my homework!

Thank you for visiting and also the appreciation

Posting Komentar

Bagi'in ke Facebook Sodara

KAMPUNG BETAWI ORA di FACEBOOK