spoon

Recent Recipes

KAMPUNG BETAWI ORA

Foto Saya
KAMPUNG BETAWI ORA
Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Selain untuk berbagi informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan betawi, ini juga adalah tempat untuk menjalin silaturahmi dan menggalang kebersamaan bagi saudara-saudara dari betawi khususnya. Terbuka juga untuk umum bila ingin memberikan saran dan komentar yang positif dan membangun. Di Kampung ini, semua orang boleh memberi saran dan kritik. Dengan syarat : harus positif dan membangun. Karena tujuan dibuatnya kampung ini yaitu untuk menambah pengetahuan tentang Betawi dan menggalang kebersamaan serta menjalin silaturahmi dengan sebanyak-banyaknya orang. Jadi, Nyo ah, kita pada rempug...
View my complete profile

- BANGUNAN BERSEJARAH

Comments (0) |

Untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat Jakarta tempo doeloe ada baiknya jika mengunjungi museum. Ada enam buah museum yang berada dibawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta: Museum Monumen Nasional, Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa Keramik dan Museum Juang.

Tempat-tempat ini menjadi saksi bisu Jakarta tempo doeloe. Bahkan dari zaman pra sejarah dan kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia. Mulai dari kerajaan Tarumanegara serta kerajaan Sunda-Padjajaran.

’Dipandu’ Dayu Pratiwi dari Pantau serta ditemani Rozanna Roni dari Utusan Sarawak aku berkesempatan mengunjungi museum-museum tersebut, kecuali Museum Nasional. Museum Sejarah sangat menarik. Sebab selain situs-situs dan alat yang digunakan zaman pra sejarah, artefak kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, persenjataan, lemari dan meja raksasa peninggalan Belanda hingga miniatur angkotnya ’Si Doel Anak Betawi’. Di bagian bawah ada lima buah penjara bawah tanah untuk tempat mengurung para penjahat dan pemberontak menurut versi VOC.

Bangunan ini dulunya adalah Stadhuis atau Balai Kota Batavia. Batu pertama diletakkan oleh noni Belanda usia 8 tahun pada 25 Januari 1707. Ia memang bukan orang sembarangan, Petronella Wilhelmina van Hoorn, putri Gubernur Hindia Belanda saat itu, van Hoorn.

Jika ditilik, maka bangunan ini sudah berusia 3 abad. Meskipun demikian lantainya yang terbuat dari kayu ukuran lebar 40 sentimeter masih terlihat bersih dan kokoh. Tak ada tanda-tanda rayap yang memakannya. Begitupun dengan dinding beton yang menopangnya juga masih kokoh. Sangat berbeda dengan kebanyakan bangunan made in ’anak negeri’ saat ini. Sebulan saja habis dikerjakan sudah banyak yang retas-retas.

Museum sejarah Jakarta terletak di Kawasan Kota Tua Jakarta. Tepatnya di depan Taman Fatahillah Jakarta Kota. Untuk masuk disini kita dipungut bea Rp 2.000 per orang. Kita bisa menikmati mebel antik dengan ukuran-ukuran besar yang dibuat abad 17-19. Uniknya mebel itu perpaduan gaya Eropa, Cina dan Indonesia sekaligus. Yang cukup populer adalah meriam si Jagur, dimana buntutnya berupa kepalan tangan dengan menjepit ibu jari diantara telunjuk dan jari tengah. Bangunan bertingkat dan memiliki ruang lebar ini diperkirakan seluas lebih dari 1.300 meter persegi. Konon, bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.

Pemerintah Indonesia pada 30 Maret 1974, kemudian meresmikannya bangunan bergaya Barok Klasik abad ke-17 ini sebagai Museum Fatahillah.

Dilihat dari luar, bangunan ini menampakkan keangkuhannya. Gagah dan besar. Pintunya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 3 meter dan tebal 10 sentimeter. Dicat merah, ia menjadi kokoh dan kuat. ”Ini tak tembus peluru,” komentar Nana.

Secara umum gedung ini terbagi tiga. Bagian dalam dan masuk dari depan terdapat berbagai koleksi pra sejarah, batu zaman neolitikum, peninggalan kerajaan Purnawarman, uang logam dan timbangan barang zaman portugis. Di bagian atas terdapat koleksi mebel-mebel tua. Ada lemari, cermin, lemari arsip, meja bahkan lukisan pengadilan Sulaiman atau Salomon.

Yang cukup membuat bulu kuduk merinding adalah bangunan penjara bawah tanah di bagian belakang gedung. Ada lima pintu dengan jeruji disana. Penjara tersebut berbentuk setengah lingkaran gelap dan pengap. Bahkan aroma kencing dan bau tubuh manusia yang tak mandi juga tercium. ”Bayangkan kalau dipenjara di sini. Ventilasinya hanya dari depan belum lagi kalau penghuninya banyak,” celoteh Dayu.

Membuat seram adalah bola-bola besi yang seukuran bola voli dan ada juga bagian yang kecil. Bola-bola yang tak kurang dari 100 kilogram tersebut dipinggirnya terdapat semacam cantolan-cantolan. Cantolan itu digunakan untuk mengaitkan rantai di kaki para tahanan Belanda. Jangankan diangkat, digeser saja bola besi itu tak bergeming. Siapa yang ditahan di ruang yang muat untuk 80 orang itu? Mereka adalah garong, perampok dan maling. Bahkan Gubernur Jenderal Belanda di Sri Langka, Petrus Vuyst sempat ditahan disitu karena ia gila.Lebih kejam lagi, tulis Tri Harijono di Harian Kompas terbitan 11 Juni 2001, tempat tersebut menjadi tempat tahanan 500 orang Cina. Mereka ditahan karena memberontak terhadap VOC pada tahun 1740. Setiap hari para tahanan yang kurus kering itu diberi makan bubur encer dan air tawar. Kemudian satu per satu dieksekusi dengan cara digantung di depan gedung. Sementara para pejabatnya menyaksikan dari balkon di lantai dua.

Museum Fatahillah hanyalah salah satu di antara makin langkanya bangunan tua dan bersejarah di ibu kota, yang menjadi saksi bisu masa lalu. Hanya saja jika kita ingin berkunjung mesti memperhatikan waktu. Museum ini dibuka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 09.00-15.00 wib. Sedangkan museum ini ditutup untuk umum setiap hari Senin dan hari besar.
Menurut literatur yang pernah aku baca, di sebelah timur pintu utama museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial, sehingga penataan interiornya pun disesuaikan yang dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial.

Menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe yang dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab dan Belanda. Mulai dari portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwichvan zeulen”, “east indieschef’s, soupAli Martak”, sampai ikan bawal “si pitung” dan pisang goreng ” Nyai Dasima” tersedia di kafe ini. Namun menurut informasi harganya sangat mahal. Jangan khawatir masih banyak jajanan yang dijajakan pedagang kaki lima yang harganya terjangkau.

*Dipublikasikan Borneo Tribune, 2 Juli 2007.


CAGAR BUDAYA SITU BABAKAN



Situ Babakan adalah kawasan Cagar Budaya Betawi yang ditetapkan pemerintah DKI Jakarta, menggantikan kawasan Condet di Jakarta Timur yang dianggap sudah tidak relevan menyandang predikat Cagar Budaya Betawi karena perubahan fisik dan non-fisik kawasan yang sangat pesat.

Setelah gagal mempertahankan kawasan Condet di Jakarta Timur sebagai kawasan budaya Betawi--akibat ketidakjelasan dan ketidakonsistenan Pemda DKI melaksanakan rencananya--Pemda DKI pada 1 Juni 2001 kembali mencanangkan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang berlokasi di Situ Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pencanangan kampung Betawi itu dilakukan Gubernur DKI Sutiyoso bersamaan dengan dimulainya rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-474 Jakarta.

Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan luasnya sekitar 165 hektar termasuk Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong dengan batas fisik, bagian utara berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II; bagian timur berbatasan dengan Jalan Putera, Jalan Mangga Bolong Timur; bagian selatan berbatasan dengan Jalan Tanah Merah, Jalan Srengseng Sawah, Jalan Puskesmas; sementara bagian Barat berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II. Perkampungan ini terdiri dari empat rukun warga (RW) di mana sebagian besar warganya adalah orang asli Betawi yang sudah turun-temurun tinggal di daerah tersebut. Sebagian lagi berasal dari daerah lain, antara lain Jawa Barat dan Kalimantan yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sana. Mereka bertahan hidup dengan budaya asli Betawi lengkap dengan dialek dan tradisi yang khas.

Lokasi Situ Babakan adalah di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.Lokasi ini dapat dicapai dari Jalan Srengseng Sawah maupun Jalan Moh.Kahfi II. Sebagian besar penduduknya adalah warga Betawi asli, di samping warga pendatang dari berbagai daerah Indonesia yang sudah lama diam di daerah tersebut dan beradaptasi dengan penduduk Betawi setempat.

Pemilihan Kampung Srengseng Sawah sebagai cagar budaya bukan tak beralasan. Kampung yang terletak di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan--sekitar 20 kilometer dari pusat kota itu, memang masih kental dengan budaya Betawi. Bahkan, di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong, sejumlah penduduk asli Betawi telah turun-menurun tinggal di daerah tersebut dan hingga kini tetap menekuni profesi sebagai petani dan pedagang.
 
 
CAGAR SEJARAH BETAWI CONDET


Condet, yang ditetapkan gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya Betawi sejak 1976, boleh dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di kawasan Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur ini, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah dan gedung bertingkat. Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Usulan ini terlontar dalam seminar 'Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi', 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, punya dasar yang kuat. Ia mengemukakan temuan arkeologis pada situs Condet mengindikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ciondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, pada penelitian arkeologis pada tahun 1970-an telah menemukan benda-benda prasejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM. "Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia," tulis sejarawan Sugiman MD dalam buku 'Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi.' Berarti di zaman batu baru (neolithic) orang telah hidup dan tinggal di Condet, dengan mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong, dan untuk berbagai keperluan lainnya. Khusus di Pejaten, pada penggalian 1971 didapat pula lampu perunggu, lampu kuil, menandakan di sana telah dikenal orang akan adanya kepercayaan atau agama .Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI, Ridwan mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebon penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pasanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.

Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jl Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk. Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan.Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat. Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga 1934, tahun ketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.


Read More......

0 komentar:

Posting Komentar

Bagi'in ke Facebook Sodara

KAMPUNG BETAWI ORA di FACEBOOK