spoon

Recent Recipes

KAMPUNG BETAWI ORA

Foto Saya
KAMPUNG BETAWI ORA
Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Selain untuk berbagi informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan betawi, ini juga adalah tempat untuk menjalin silaturahmi dan menggalang kebersamaan bagi saudara-saudara dari betawi khususnya. Terbuka juga untuk umum bila ingin memberikan saran dan komentar yang positif dan membangun. Di Kampung ini, semua orang boleh memberi saran dan kritik. Dengan syarat : harus positif dan membangun. Karena tujuan dibuatnya kampung ini yaitu untuk menambah pengetahuan tentang Betawi dan menggalang kebersamaan serta menjalin silaturahmi dengan sebanyak-banyaknya orang. Jadi, Nyo ah, kita pada rempug...
View my complete profile

- TOKOH-TOKOH BETAWI

Comments (11) |

ISMAIL MARZUKI

Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini, memang memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi.
Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Di rumah keluarga Marzuki ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, mulai dari keroncong, jali-jali, cokek, sampai gambus. Ismail pun tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia. Banyak nantinya karya yang diciptakan Ismail memiliki irama Latin, seperti rumba, tango dan beguine. Ismail memang sangat menyukai lagu-lagu berirama itu.

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP, Ismail kemudian mengikuti panggilan hatinya untuk bekerja dalam musik. Setelah sempat bekerja di sebuah toko penjual piringan hitam, Ismail akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon dan akordion.

Karirnya semakin bersinar setelah Belanda membentuk sebuah radio yang diberi nama Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM). Orkes Lief Java, tempat Ismail bermain, diberi kesempatan untuk mengisi siaran musik. Bakat dan jiwa musik Ismail makin berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM.

Namun, sang ayah, walau pun menyukai dunia musik, tidak begitu setuju dengan karir Ismail di jalur musik. Beliau kuatir dengan asumsi masyarakat pada saat itu yang masih memandang rendah profesi seniman. Sebaliknya, Ismail tidak terpengaruh dengan pencitraan yang dibuat oleh Belanda tersebut. Bahkan setiap naik kelas, ia selalu minta dibelikan berbagai macam alat musik, macam harmonika, mandolin dsb.

Ismail yang memiliki bakat dan fasilitas bermusik yang besar tidak menyia-nyiakan karunia yang ada. Ia pun mengembangkan kemampuan musiknya lebih jauh lagi dengan mencoba untuk menggubah lagu. Karya pertamanya yang berjudul O Sarinah pun lahir di tahun 1931, ketika usianya 17 tahun. Tembang ini bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah.

Ismail memang memiliki semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Peran sang ayah sangat besar dalam membentuk kepribadian tersebut. Beliau terus mendorong agar Ismail tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya dan mampu berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan kesukuan.

Proses penciptaan musik dalam karir Ismail Marzuki dibagi dalam dua periode besar, yakni pada periode Hindia-Belanda dan periode pendudukan Jepang serta revolusi kemerdekaan. Pada periode pertama, karya Ismail banyak dipengaruhi oleh irama musik yang terkenal saat itu, yakni jazz, hawaiia, seriosa/klasik ringan dan keroncong. Karyanya yang terkenal adalah Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandaneira dan Lenggang Bandung.
Periode kedua pada jaman penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radionya Jepang. Tembang-tembang macam Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan lahir di jaman ini. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949).

Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Banyak penghargaan seni yang diberikan kepada Ismail karena dedikasi pada musik, perjuangan dan kecintaannya pada Tanah Air. Salah satunya adalah Piagam Wijayakusuma yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961.
Karya Lagu :

1. Aryati
2. Gugur Bunga
3. Melati di Tapal Batas (1947)
4. Wanita
5. Rayuan Pulau Kelapa
6. Sepasang Mata Bola (1946)
7. Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
8. Sarinah (1931)
9. Keroncong Serenata
10. Kasim Baba
11. Bandaneira
12. Lenggang Bandung
13. Sampul Surat
14. Karangan Bunga dari Selatan
15. Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)


Mengenang Ismail MarzukiTinggalkan Lagu Tak Berjudul dan Bersyair...
Tak banyak yang tahu bahwa Mei adalah bulan lahir dan meninggalnya komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. Putra Betawi asli ini lahir di Kwitang (Betawi) pada 11 Mei 1914 dan meninggal di Jakarta pada 25 Mei 1958. Pada zamannya, Ismail Marzuki dan pencipta-pencipta lagu seangkatannya telah banyak melahirkan lagu populer Indonesia. Karya-karya penting dari Ismail Marzuki sebagai pencipta lagu adalah lagu-lagu perjuangannya. Namun, bagaimana pernik-pernik kisah masa lalunya?
ORANGTUA Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
***
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura.
Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.

Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
***
Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam".
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki -- komponis besar Indonesia itu -- menutup mata selamanya pada 25 Mei 1058.
* surianto kartaatmadja

Dia lahir tanggal 11 Mei 1914, dan tutup usia tanggal 25 Mei 1958. sosok yang berkepribadian luhur, khususnya dalam bidang seni. Salah seorang putra terbaik Betawi ini memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Ismail yang tergolong anak pintar, sejak muda senang tampil necis. Sore hari ia suka keliling kota dengan motor kebanggaannya, merek Ariel buatan Inggris. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat, dan ia senang berdasi. Tentu saja semua itu dimungkinkan karena Pak Marzuki ayah Ismail termasuk orang berkecukupan sebagai pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Dari ayahnya pula kemungkinan besar Ismail mewarisi bakat musik. Pak Marzuki diketahui gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. (Lihat misalnya Ismail Marzuki-Komponis Pejuang, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Drs Jajang Gunawijaya MA & Drs Wiyoso Yudoseputro, Editor, 1997) Ismail sendiri sejak kanak-kanak sudah tertarik dengan lagu-lagu. Di rumahnya ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, ada keroncong, jali-jali, cokek, gambus, dan sebagainya. Ismail juga tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia, yang sangat ia kagumi. Lalu kalau kemudian orang menemukan lagu-lagu ciptaan Ismail banyak yang berirama Latin seperti rumba, tango, dan beguine, itu juga karena Ismail sangat menyukai lagu-lagu berirama itu. Ismail sering menghabiskan waktu berjam-jam di muka gramofon dan setiap kali bersiul atau bernyanyi-nyanyi. Kalau teman-temannya datang ke rumah, topik hangatnya adalah lagu-lagu yang baru mereka dengarkan. Panggilan musik semakin menyusup dalam kehidupan Ismail setelah ia menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP. Ismail lalu bekerja di toko penjual piringan hitam, sebelum akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon, dan akordion. Ketika Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM), orkes Lief Java juga diberi kesempatan mengisi siaran musik. Tentu saja dengan itu, Bang Maing semakin dikenal orang. Lebih-lebih setelah bakat dan jiwa musiknya berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM. Meski sudah seperti tak terbendung, tak urung aktivitas seni Ismail sempat membuat khawatir ayahnya. Pak Marzuki rupanya berbagi dengan pandangan yang umum pada waktu itu, yaitu bahwa profesi seniman masih sering direndahkan. Misalnya, pemain sandiwara disebut "anak wayang", penyanyi disebut "buaya keroncong". Sebutan seperti itu tampaknya belum kena di hati Pak Marzuki. Di lain pihak, Ismail sendiri tidak terpengaruh oleh pencitraan yang diciptakan oleh Belanda tersebut. Untuk menegaskan tekadnya, setiap naik kelas ia malah selalu minta dibelikan alat musik-harmonika, mandolin, dan sebagainya-sehingga kamarnya dipenuhi berbagai alat musik. Memang, sebagai akibatnya, Ismail lalu jadi lebih terbuai oleh aneka alat musiknya itu daripada buku pelajaran. Warna penciptaan Bakat dan semangat bermusik yang sangat besar, ketersediaan aneka instrumen musik yang bisa dia akses, keterbukaannya pada berbagai jenis musik dunia, serta lingkungan pergaulan, semua itu lalu menjadi lahan yang amat subur bagi Ismail untuk mengembangkan lebih jauh kesenangan main musiknya, dan-ini dia yang lebih penting-menggubah lagu. Peran ayahanda Ismail-di luar kesediaannya untuk memenuhi keinginan Ismail pada alat-alat musik-tidak kecil di sini. Di luar kerisauannya menyangkut tekad bermusik putranya, Marzuki sendiri terus mendorong agar Ismail juga tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya, dan berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan dan kesukuan. Ini dapat menjelaskan, mengapa lagu-lagu Ismail Mz kaya akan semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Kepekaan Ismail pada perjuangan bangsanya lalu tercermin dalam alam penciptaannya. Karya pertamanya adalah O Sarinah yang dia ciptakan tahun 1931, jadi ketika usianya 17 tahun. Judul itu bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi ia juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah. Menurut penelitian tim penulis Dinas Kebudayaan DKI di atas, yang hasilnya menjadi rujukan tulisan ini, proses penciptaan Ismail Marzuki dapat dibagi dalam dua periode besar. Yang pertama Periode Hindia-Belanda (1900-1942), Periode Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950-an). Dalam Periode pertama, musik jazz, hawaiian, seriosa/klasik ringan, dan keroncong, mulai populer seiring dengan makin terpaparnya warga di kawasan Hindia-Belanda dengan kebudayaan, termasuk musik Barat. Ismail pun tak lepas dari pengaruh tersebut. Setelah O Sarinah (1931), ia mencipta antara lain Keroncong Serenata (1935), Roselani (1936) yang membawa pendengarnya ke suasana Hawaii, dan setahun kemudian (1937), Ismail mencipta lagu-lagu berlatar belakang Hikayat 1001 Malam seperti Kasim Baba. Ismail mulai mengisi musik untuk film tahun 1938, tatkala ia mengarang tiga lagu untuk film Terang Bulan. Sesudahnya Ismail masih menghasilkan lagu-lagu dengan judul yang antara lain merupakan nama tempat, seperti Bandaneira, Olee Lee di Kutaraja, Lenggang Bandung, Melancong ke Bali (1939). Dalam Periode ini, Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan. Sementara selama Periode Penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radio, yakni Hozo Kanri Kyeku (Radio Militer Jepang). Dalam Periode ini lahir sejumlah lagunya yang terkenal, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949). Lalu, dalam tahun-tahun akhir kehidupannya, Bang Maing juga masih menghasilkan sejumlah lagu yang sangat terkenal. Sebutlah, misalnya, Candra Buana (1953), Payung Fantasi (1955), Sabda Alam (1956). Lagu terakhirnya yang tercatat adalah Inikah Bahagia? (1958). Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Ada yang menyebutnya 202, ada juga yang mengatakan sekitar 250. Apa pun, dari jumlah itu, yang bisa dikatakan masih populer berjumlah sekitar 75. Dalam buku-buku yang disusun oleh RE Rangkuti, DS Soewito, dan GS Pardede, yang dimuat memang hanya 50 lagu terpopuler. Sementara lagu indah seperti Murai Kasih yang dinyanyikan dengan manis oleh Rien Djamain, atau Mari Bung, dan Keroncong Hasrat Menyala tidak tercantum dalam kumpulan lagu pilihan tersebut. Untuk semua dedikasi pada musik, perjuangan, dan kecintaan pada Tanah Air, Ismail banyak mendapat penghargaan seni. Misalnya saja anugerah dari Presiden Soekarno berupa Piagam Wijayakusuma 17 Agustus tahun 1961. Romantisme dan kritik Gambaran umum tentang lagu-lagu Ismail Marzuki adalah perjuangan dengan romantismenya. Selendang Sutera yang diberikan gadis pujaan bagi pejuang merupakan suvenir yang menyertai kepergiannya ke medan tempur. Dan ketika lengan pejuang terluka parah, selendang sutera tersebut turut berjasa sebagai pembalut luka. Dalam lagu tersebut, kecuali unsur semangat juang, hal lain yang menonjol antara lain juga penguasaan bahasa liris Ismail. Di baris terakhir ia tulis: Cabik semata, tercapai tujuannya. Duh, memang selendang hanyalah secarik kain, namun alangkah besar makna dan manfaatnya. Akan tetapi, dengan semua yang telah diberikannya, Ismail Marzuki tak juga terbebas dari kritik. Kritik L Manik, meski disampaikan tanpa menyebut nama, mungkin termasuk yang sangat pedas. Dalam jurnal Zenit (No 3, th 1951) ia mengkritik lirik lagu Rayuan Kelapa. Menurut Manik, meski lagu itu mengambil inspirasi dari keindahan Tanah Air. Tetapi penggubahnya hanya sampai pada keindahan saja. Penggubah lagu tersebut masih berpikir dalam alam "Lief Indie", padahal itu alam pikiran yang menguntungkan penjajah di masa silam. Syairnya memang menggunakan perkataan yang bisa menimbulkan rasa kebangsaan dan kejayaan, suci dan luhur, tetapi lagunya lemah merayu, dengan konsepsi lagu yang dangkal. Jadi, meski lagu Rayuan Pulau Kelapa sukses dan banyak dinyanyikan, sebagai lagu Tanah Air dalam masa kebangunan bangsa, ia lemah. Memang, di tengah komunitas yang sebagian berpendidikan Eropa, dengan bekal disiplin musik klasik, sempat muncul penilaian, bahwa apa yang diciptakan Ismail berkategori "picisan", hanya cocok untuk selera orang kampung yang dianggap bukan golongan "intelektual". Musik memang sering dikaitkan dengan kata muse, atau muzen. Tetapi, apa yang dihasilkan Ismail disebut muizen atau tikus, malah blinde muizen atau tikus buta. Seperti dijelaskan oleh Firdaus Burhan yang menyusun karangan tentang Ismail Marzuki untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983/1984, buta di sini untuk melukiskan Ismail yang tidak pernah sekolah di sebuah konservatorium di Amsterdam, tidak punya ijazah komponis, ijazah harmoni, kontrapunk, bel canto, dan sebagainya, tetapi berani membuat musik. Untunglah kritik yang dimuat di pers Belanda ini dapat ditahan oleh Ismail. Yang ironis, selanjutnya, di negeri yang sejumlah warganya pernah mengejek Ismail Marzuki, malah karya-karya putra Betawi ini terus dikenang. Pada bulan Mei seperti sekarang, lagu-lagu Ismail sering diperdengarkan di negara bekas penjajah itu. Kini, pada era reformasi demokratis, kritik terhadap karya Ismail Marzuki mungkin lepas dari masalah melodi atau musik pada umumnya. Yang dikritik adalah glorifikasi Ismail pada perjuangan fisik, pada pertempuran. Padahal, perjuangan Indonesia bukankah juga mencakup perjuangan diplomasi. Selain urusan puja-memuja Tanah Air-itu sendiri sebenarnya tidak buruk, apalagi dalam konteks masa sekarang ini, dimana orang banyak tak peduli urusan dan kepentingan bangsa-Ismail juga banyak mengangkat masalah sosial-kemasyarakatan yang hangat pada masanya. Dalam lagu Seruan Teruni, misalnya, Ismail sebel dengan seorang pria yang mengaku datang dari perjuangan, gagah-gagahan dengan uangnya, dan dengan itu seolah bisa berbuat apa saja. Mungkin saja di era sadar jender sekarang ini, ada yang tidak suka dengan lirik Sabda Alam. Tetapi, selain itu Ismail juga memotret hal lain yang mendalam. Lagu Tukang Becak Bang Samiun yang karena satu insiden marah-marah tapi dapat ditenangkan oleh saudara sebangsa yang cinta persatuan. Berterima kasih Indonesia beruntung punya sederet komponis besar seperti C Simandjuntak, Kusbini, Gesang, Iskandar, Sjaiful Bahri, Binsar Sitompoel, WR Supratman, L Manik, dan H Mutahar. Tetapi, Indonesia juga sangat beruntung memiliki seorang Ismail Marzuki. Tentu saja, Ismail Marzuki tidak bisa dianggap "seniman legendaris tak tertandingi", atau sebutan "terbesar" dan sejenisnya, karena, seperti pernah disampaikan oleh pemusik Suka Harjana, "dalam dunia seniman tidak ada yang paling besar." Sewajarnyalah demikian. Ismail Marzuki dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai komponis yang hidup pada zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Wacana bangsa Indonesia kini telah beranjak jauh dari apa yang sezaman dengan Ismail Marzuki. Kalaupun karya-karyanya masih terus hidup, itu karena ada pertalian sejarah dan perasaan kebangsaan antara warga RI, baik yang hidup pada zaman itu maupun yang hidup pada zaman sekarang. Di luar kritik dan perkembangan sejarah, satu hal yang Ismail tidak keliru adalah penuturannya tentang "kesediaan untuk berkorban jiwa raga", sesuatu yang pasti makin langka di tengah gelombang materialisme dewasa ini.



BENYAMIN SUEB


Nama : Benyamin Sueb
Lahir : Jakarta, 5 Maret 1939
Meninggal : Jakarta, 5 September 1995
Isteri : Noni (Menikah tahun 1959)
Pendidikan :
- Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan & Ketatalaksanaan, Jakarta (1960)
- Akademi Bank Jakarta, Jakarta (tidak tamat)
- SMA Taman Madya, Jakarta (1958)- SMPN Menteng, Jakarta (1955)
Riwayat Pekerjaan :
- Aktor, penyanyi, penghibur
- Kondektur PPD (1959)
- Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960)
- Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1968)
- Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969)

Penghargaan :
- Meraih Piala Citra 1973 dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) bersama Rima Melati
- Meraih Piala Citra 1975 dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975)

Seniman Betawi Serba Bisa
Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan ‘muke lu jauh’ atau ‘kingkong lu lawan’ pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini. Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya buat biaya sekolah kakak-kakaknya.Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5 sen dan sepotong kue sebagai ‘imbalan'. Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak. Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan ‘alat musik’ itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya.SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia mengancam, “Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!” Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.

Benyamin mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. “Tergantung kondisi,” kata penyanyi dan pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya.Ia akhirnya menjadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di perusahaan bis PPD, langsung diterima . “Tidak ada pilihan lain,” katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan Banteng - Pasar Rumput. Itu pun tidak lama. “Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir ngajarin korupsi melulu,” tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan. Ia sendiri mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap basah ketika ada razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis PPD. Kabur, daripada diusut.Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop.Sebenarnya selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan bekerja di lahan yang ‘serius’ diantaranya mengikuti Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964), bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969).Dari berkesenian, hidup Benyamin (dan keluarganya) berbalik tak lagi getir. Debutnya Si Jampang, mengalir setelah itu Kompor Mleduk belakangan dinyanyikan ulang oleh Harapan Jaya, Begini Begitu (duet Ida Royani), Nonton Bioskop (dibawakan Bing Slamet) dan puluhan lagu karya Benyamin yang lain. Tidak puas dengan hanya menyanyi, Benyamin lalu main film. Diawali Honey Money and Jakarta Fair (1970) lalu mengucur deras puluhan film lainnya. Seniman yang suka ‘mengomel’ bila melawak ini menjadi salah satu pemain yang namanya sering digunakan menjadi judul film.

Selain Benyamin tercatat diantaranya Bing Slamet,Ateng, dan Bagio. Judulnya, antara lain Benyamin Biang Kerok (Nawi Ismail, 1972), Benyamin Brengsek (Nawi Ismail, 1973), Benyamin Jatuh Cinta (Syamsul Fuad, 1976), Benyamin Raja Lenong (Syamsul Fuad, 1975), Benyamin Si Abunawas (Fritz Schadt, 1974), Benyamin Spion 025 (Tjut Jalil, 1974), Traktor Benyamin (Lilik Sudjio, 1975), Jimat Benyamin (Bay Isbahi, 1973), dan Benyamin Tukang Ngibul (Nawi Ismail,1975).Dia juga main di film seperti Ratu Amplop (Nawi Ismail, 1974), Cukong Blo'on (Hardy, Chaidir Djafar, 1973),Tarsan Kota (Lilik Sudjio, 1974), Samson Betawi (Nawi Ismail, 1975), Tiga Janggo (Nawi Ismail, 1976), Tarsan Pensiunan (Lilik Sudjio, 1976), Zorro Kemayoran (Lilik Sudjoi, 1976). Sementara Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) membuat dirinya, dan Rima Melati, meraih Piala Citra 1973.Benyamin juga membuat perusahaan sendiri bernama Jiung Film - diantara produksinya Benyamin Koboi Ngungsi (Nawi Ismail, 1975) - bahkan menyutradarai Musuh Bebuyutan (1974) dan Hippies Lokal (1976). Sayang, usahanya mengalami kemunduran, dan PT Jiung Film dibekukan tahun 1979.Benyamin tidak selalu menjadi bintang utama di setiap filmnya. Seperti layaknya semua orang, ada proses dimana Benyamin "hanya" menjadi figuran atau paling mentok menjadi aktor pembantu. Dalam hal ini, paling tidak ada dua nama yang patut disebut, yaitu Bing Slamet dan Sjuman Djaya. Walau sudah merintis karir sebagai "bintang film" lewat film perdananya, Banteng Betawi (Nawi Ismail,1971) yang merupakan lanjutan dari Si Pitung (Nawi Ismail, 1970), tetapi kedua nama besar itulah yang mempertajam kemampuan akting Benyamin.Dalam "berguru" dengan Bing Slamet, Benyamin tidak saja bekerja sama dalam hal musik - seperti dalam lagu Nonton Bioskop dan Brang Breng Brong. Tapi dalam hal film pun dilakoninya. Terlihat dengan jelas, di film Ambisi (Nya Abbas Acup, 1973) -sebuah "komidi musikal" yang diotaki oleh Bing Slamet - Benyamin menjadi teman sang aktor utama, Bing Slamet menjadi penyiar Undur-Undur Broadcasting. Di film ini, sudah terlihat gaya "asal goblek" Benyamin yang penuh improvisasi dan memancing tawa. Di sini, dia berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Tukang Sayur. Tetapi, sebenarnya, setahun sebelumnya, Benyamin juga diajak ikutan main Bing Slamet Setan Djalanan (Hasmanan, 1972). Karena itulah, saat sahabatnya itu wafat pada 17 Desember 1974, Benyamin tak dapat menahan tangisnya.Dengan Sjuman Djaya, Benyamin diajak main Si Doel Anak Betawi (Sjuman Djaya, 1973). Dirinya menjadi ayah si Doel, yang diperankan oleh Rano Karno kecil. Perannya serius tapi, seperti stereotipe orang Betawi, kocak dan tetap "asal goblek". Adegan terdasyat film ini adalah saat pertemuan antara abang-adik yang diperankan oleh Benyamin dan Sjuman Djaya sendiri, terlihat ketegangan dan kepiawaian akting keduanya yang mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Talenta itu direkam oleh ayah dari Djenar Maesa Ayu dan Aksan Syuman, dan dua tahun kemudian Benyamin pun main film sekuelnya, Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975). Kali ini Benyamin menjadi bintang utamanya, dan meraih Piala Citra.Yang menarik, lebih dari dua puluh tahun kemudian Rano Karno membuat versi sinetronnya. Castingnya nyaris sama: Rano sebagai Si Doel, Benyamin sebagai ayahnya - selain theme song-nya dan settingnya yang hanya diubah sedikit saja. Lagi-lagi Benyamin menjadi aktor pendukung, tapi kehadirannya sungguh bermakna.Sebenarnya ada satu lagi film yang dirinya bukan aktor utama, tetapi sangat dominan bahkan namanya dijadikan subjudul atawa tagline: Benyamin vs Drakula. Film itu adalah Drakula Mantu, karya si Raja Komedi Nyak Abbas Akub tahun 1974. Film bergenre komedi horor itu "memaksa" Benyamin beradu akting dengan Tan Tjeng Bok, si aktor tiga zaman.

Begitulah, meski beberapa kali pernah tidak "menjabat" sebagai aktor utama, tetapi kehadirannya mencuri perhatian penonton saat itu.Penyanyi BeneranTahun 1992, saat sibuk main sinetron dan film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) Benyamin mengutarakan keinginannya pada Harry Sabar, "Gue mau dong rekaman kayak penyanyi beneran." Maka, bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah band Gambang Kromong Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. Inilah band dan album terakhir Benyamin."Di lagu itu, entah kenapa, Ben menyanyi seperti berdoa, khusuk. Coba saja dengar Ampunan," jelas Harry, sang music director. "Mungkin sudah tahu kalau hidupnya tinggal sebentar," imbuhnya. Memang betul, setelah album itu keluar, Benyamin sakit keras, dan rencana promosi ditunda dan tak pernah lagi terwujud kecuali beberapa pentas. Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Tetapi, lagi-lagi, seserius apa pun, tetap saja orang-orang yang terlibat tertawa terpingkal-pingkal saat Benyamin rekaman lagu I’m a Teacher dan Kisah Kucing Tua dengan penuh improvisasi. Sementara lagu Dingin Dingin Dimandiin dan Biang Kerok bernuansa cadas. Dan Ampunanmu kental dengan progressive rock, diantaranya nuansa Watcher of the Sky dari Genesis era Peter Gabriel.

Yang menarik, masih menurut Harry, saat Benyamin menonton Earth, Wind, and Fire di Amerika - saat menjenguk anaknya yang kuliah di sana - dia langsung komentar, "Nyanyi yang kayak gitu, asyik kali ye?", dan nuansa itu pun hadir di beberapa lagu di album itu, salah satunya dengan sedikit sentuhan Lady Madonna dari The Beatles.Benyamin yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Ia bukan lagi sekadar sebagai tokoh masyarakat Betawi, melainkan legenda seniman terbesar yang pernah ada. Karena itu banyak orang merasa kehilangan saat dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa.Dari pelawak yang pernah tampil dalam variety show Benjamin Show sambil tour dari kota ke kota sampai Malaysia dan Singapura ini muncul banyak idiom atau celetukan yang sampai kini masih melekat di telinga masyarakat, khususnya warga Jakarta. Sebut saja, aje gile, ma'di kepe, atau ma'di rodok, yang semuanya lahir dari lidah Benyamin.
 
 
 
MUHAMMAD HUSNI THAMRIN


Nama : Mohammad Husni Thamrin
Lahir : Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894
Wafat : Jakarta, 11 Januari 1941
Ayah : Thamrin Mohamad Thabrie (Wedana Batavia tahun 1908)
Ibu : -
Pendidikan : Sekolah Belanda
Karir :
- Pegawai magang di Residen Batavia, Pegawai klerk di perusahaan pelayaran KPM
- Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941), Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941).
Alamat : Jalan Sawah Besar No 32 Jakarta

Politikus yang Santun

Pahlawan Nasional Mohammad Husni Thamrin, telah banyak berjasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Termasuk jasa-jasanya ikut merintis ikatan persatuan dan kesatuan di antara anak bangsa agar tidak terpecah belah. Jejak langkah putra terbaik bangsa ini perlu dijadikan suri teladan bagi generasi penerus masa kini.

Oleh Asvi Warman Adam

Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah bupati.Ia masuk sekolah Belanda, fasih berbahasa ini, mampu berdebat dengan baik. Memulai karier sebagai pegawai magang di Residen Batavia dan pegawai klerk di perusahaan pelayaran KPM, MH Thamrin duduk di Dewan Kota (Gemeenteraad, 1919-1941) lalu di Dewan Rakyat (Volksraad, 1927-1941).Pengarang Pramudya Ananta Toer memiliki berbagai dokumen tentang MH Thamrin karena istrinya adalah keponakan dari tokoh Betawi itu.Dua modus perjuanganPerjuangan melawan Belanda dilakukan kaum pergerakan dengan dua modus, yaitu bersedia bekerja sama dengan pihak kolonial atau tidak. Bila dwitunggal Soekarno-Hatta disebut perpaduan Jawa-luar Jawa serta gabungan orator ulung dengan administrator andal, pasangan Thamrin-Soekarno dilihat sejarawan Bob Hering sebagai paduan modus perjuangan secara kooperatif dengan nonkooperatif.Selama ini kata "kooperatif" memiliki konotasi kurang positif. Orang lebih menghargai tokoh yang berjuang secara non-koo. Namun, kedua jalur itu saling melengkapi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Bahkan dari tahun 1933 sampai 1942 saat pergerakan Soekarno-Hatta-Sjahrir terkesan mandek, justru Thamrin tetap bergerak dengan bersemangat di Volksraad.Thamrin sering disebut satu napas dengan Bung Karno. Ia hadir saat Soekarno diadili, kala dijebloskan ke penjara, saat Bung Karno dibuang ke Ende. Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan rumah justru setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya. Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) kelompok pergerakan yang kooperatif dan nonkooperatif, juga antara kelompok pergerakan dengan Volksraad.Bila Bung Karno berpidato soal makro, seperti falsafah dan ideologi negara, Thamrin menukik kepada persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa perumahan elite Menteng yang diprioritaskan pembangunannya, sedangkan kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat. Ia berbicara tentang pajak dan sewa tanah.Bersama anggota lain di Volksraad, Thamrin mempertanyakan anggaran pertanian yang hanya 57 juta gulden, sedangkan angkatan darat, laut, dan polisi 174 juta gulden.Ia sering kalah dalam pemungutan suara, tetapi tetap mengajukan mosi bila ada aturan Pemerintah Hindia Belanda yang merugikan perjuangan kaum pergerakan. Thamrin memang kooperatif, tapi tidak berdasar loyalitas Belanda. Ia tahu persis bagaimana beroposisi secara santun. Kaum Betawi yang didirikan tidak begitu berkembang. Walau tanpa organisasi politik, ia mampu meniti karier politik di Dewan Rakyat.Thamrin bukanlah kooperatif tanpa reserve. Ia memiliki prinsip, sebagai tercermin dalam pernyataannya "Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan." (Handelingen Volkraad, 1931-1932)Menurut surat kabar Bintang Timur (15/07/1933), Thamrin adalah kampiun kaum nasionalis di Volksraad yang tak diragukan, yang berani mengingatkan pemerintah dalam banyak isu penting. Koran Adil 17 Juli 1933 mengungkapkan, Thamrin selalu menyampaikan pidato dengan argumen yang tepat, yang membuat darah tukang lobi anti-Indonesia Merdeka, seperti Fruin dan Zentgraaff jadi mendidih.Thamrin menggunakan kesempatan secara brilian untuk menarik perhatian sungguh-sungguh terhadap apa yang "sebenarnya hidup dalam kalbu pergerakan seluruhnya". Thamrin berbicara tentang kebenaran dan melakukan pekerjaan sepenuh hati dalam situasi begitu sulit bagi pergerakan. Dalam berdebat yang penting argumen kuat, Thamrin sendiri tidak pernah menggunakan kata-kata tajam dan keras.Ada sebuah pernyataan MH Thamrin yang disampaikan 70 tahun silam, namun masih terasa kebenarannya sampai sekarang meski pemerintah telah gonta-ganti: "Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (Handelingen Volksraad, 1930-1931).Tak kibarkan bendera BelandaMeski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940.Dalam suatu kesempatan, ia juga mempelesetkan JINTAN, obat kumur murah buatan Jepang, menjadi "Jenderal Japan Ini Nanti Toeloeng Anak Negeri". Selain itu, tokoh Jepang Kobajashi dipanjangkan menjadi "Koloni Orang Belanda akan Japan Ambil Seantero Indonesia". Ia dikenai tahanan rumah karena dianggap tidak setia kepada Belanda dan main mata dengan pihak Jepang.Di rumahnya di jalan Sawah Besar No 32, Thamrin muntah-muntah dan demam mungkin karena gangguan ginjal, kecapaian dan malaria. Istrinya meminta polisi agar mengizinkan kunjungan dokternya. Akhirnya sang dokter datang, tetapi sudah terlambat, tanggal 10 Januari 1941, suhu badan Thamrin sangat tinggi dan ia hampir tidak bisa bicara. Dokter memberi suntikan untuk menurunkan panasnya, namun penyakitnya tidak tertolong lagi, esok subuh ia meninggal.Pada hari pemakamannya, dari rumahnya di Sawah Besar sampai ke kuburan Karet, lebih dari 20.000 orang mengantarkan jenazah tokoh Betawi itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.Kini yang lahir di tengah masyarakat Betawi adalah kelompok massa seperti FBR (Forum Betawi Rempug) yang kemarin ikut mendukung Akbar Tandjung dan pernah menghajar kelompok masyarakat miskin kota di halaman kantor Komnas HAM. Kapan muncul lagi politikus santun seperti MH Thamrin? ?Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI

Muhammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pelajarannya di Koning Williem II, sejenis SMA ia kemudian bekerja di kantor kepatihan.Karena prestasinya baik, maka ia dipindahkan ke Kantor Karesidenan dan terakhir ke perusahan pelayaran Koninglijke Paketvaart (KPM) Pada tahun 1927 ia diangkat sebagai anggota Volksraad. Ia membentuk Fraksi Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan tersebut.Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea.Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta.
 
 
 
SI PITUNG


Perampok atau Pemberontak?
Oleh Ridwan Saidi

Si Pitung selama delapan tahun (1886 – 1894) telah meresahkan Batavia. Penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera Snouck Hurgronje mengecam habis-habisan kepala polisi Batavia Schout Hijne yang tak mampu menangkap Pitung. Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang Eropa seperti Hijne sampai harus berdukun untuk dapat menangkap Pitung. Hurgronje menganggap kepala polisi ini sangat tidak terpelajar yang tak mampu memperhitungkan kehadiran alat transportasi baru, kereta api, yang dengannya Pitung dapat hilir mudik. Lebih menggusarkan lagi Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, di luar penjara Pitung masih sempat membunuh Demang Kebayoran, yang menjadi musuh petani-petani Kebayoran dan telah pula menjebloskan saudara misan Pitung, Ji’ih, ke penjara dan kemudian dihukum mati.

Margriet van Teel dalam laporan penelitiannya tahun 1984 sebagaimana disiarkan Bijdragen tahun penerbitan semasa mengungkapkan bahwa polisi Belanda pernah menggerebek rumah si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat, dan ternyata di rumah itu yang ditemukan hanyalah beberapa keping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang dinilainya bersekutu dengan Belanda telah mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai dan jumlahnya.

Dalam menjalankan aksi perampokannya, Pitung tidak membangun komplotan melainkan berdua denga sepupunya Ji’ih yang kemudian dihukum mati. Setelah itu Pitung bekerja sendiri. Karena itulah sulit polisi mendapatkan informasi tentang Pitung.

Apa yang dikenal sebagai rumah si Pitung yang berlokasi di Marunda, Jakarta Utara, sesungguhnya rumah Haji Safiudin seorang bandar perdagangan ikan. Ada dua versi tentang perampokan di rumah Haji Safiudin. Versi pertama mengatakan Pitung benar-benar telah merampok Haji Safiudin. Versi kedua meragukan kalau Haji Safiudin sempat dirampok. Diperkirakan terjadi kesepakatan antara Safiudin dengan Pitung. Safiudin menyerahkan sejumlah uang. Penulis meyakini versi kedua dengan penjelasan di bawah nanti.

Mengangon kambing

Ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Jakarta Barat, ayahnya berasal dari kampung Cikoneng, Tangerang. Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tangerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan yang pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan isteri tua. Pitung bersama ibunya kembali ke kampung Rawa Belong, sedangkan ayahnya menetap di Cikoneng, Tangerang, bersama istri mudanya dan tetap bekerja pada tuan Tanah Cikoneng. Kemudian hari ketika Pitung sudah menjadi buronan ia kerap berkunjung ke rumah Tuan Tanah Cikoneng.

Di Rawa Belong Pitung mengangon kambing milik kakeknya. Setelah berusia 14 tahun, Pitung dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran. Pada suatu hari saat kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok. Ia tak berani pulang takut dimarahi kakek dan ibunya. Pitung mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kekerasan.

Dalam pengembaraannya itu sampailah ia di kampung Kemayoran, dan berkenalan dengan Guru Na’ipin. Seorang ahli tarekat yang pandai bermain silat. Guru Na’ipin adalah murid Guru Cit seorang mursyid, guru tarekat, dari kampung Pecenongan, Jakarta Pusat. Sekitar enam tahun Pitung berguru pada Na’ipin.

Na’ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad XIX. Karya Mohammad Bakir tersimpan di sejumlah meseum terkemuka di dunia antara lain Petersburg, Rusia, London, dan negeri Belanda. Dari titik inilah Na’ipin membangun hubungan dengan jaringan Jembatan Lima, Jakarta Barat, yang ketika itu sudah dipimpin Bang Sa’irin. Di kampung inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda di sepanjang abad XIX dan permulaan abad XX dirancang. Jaringan Jembatan Lima sebelumnya dipimpin Cing Sa’dullah, juga seorang pengarang Betawi.

Pitung tidak pernah menikmati hasil rampokannya. Ia tak pernah beristeri, karena buronan yang tidak menetap di suatu tempat. Ia juga bukan penjudi, atau pun pemabuk. Ia seorang penganut tarekat. Menurut Margriet van Teel, Pitung dapat menulis dalam aksara Melayu Arab. Margriet van Teel melaporkan bahwa tatkala di penjara Meester Cornelis, Jatinegara, Pitung sempat beberapa kali menyelundupkan surat yanag ditujukan pada pengurus mesjid Al Atiq kampung Melayu. Dalam surat itu Pitung menggunakan nama samaran Solihun, orang yang saleh.

Di kalangan tarekat tatkala itu berkembang keyakinan bahwa merampas harta musuh untuk kepentingan perjuangan adalah halal belaka. Ini disebut fa’ie. Pitung menjalankan tugas ini setelah tokoh-tokoh pemberontakan petani di Jakatrta dan sekitarnya kesulitan dana karena penyandang dana selama itu, pelukis Raden Saleh, telah disita kekayaannya pada tahun 1870 karena terlibat pemberontakan petani. Dan pada tahun 1880 Raden Saleh meninggal dunia di Bogor dalam keadaan miskin.

Seluruh hasil rampokan Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Bukan dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil sebagaimana selama ini didongengkan. Karena itulah Pitung amat sulit ditangkap karena jaringannya amat luas. Bahkan salah seorang calon korbannya, Haji Safiudin kampung Marunda, akhirnya menjadi mitranya. Pitung seringkali berkunjung ke rumah Haji Safiudin di Marunda yang kemudian terkenal sebagai rumah si Pitung.

Karena seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium mata-mata Belanda. Route Pitung dilacak. Pitung selalunya muncul dari Pondok Kopi, Jakarta Timur, jika hendak ke Marunda. Pada suatu petang Schout Hijne dengan kekuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Tak ayal lagi begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia dihujani peluru. Pitung rebah, tapi tak langsung tewas. Ia dibawa dengan mobil ambulans yang sudah disiapkan ke rumah sakit militer, kini RSPAD, di Jl Raya Senen, Jakarta Pusat.

Menurut laporan Margriet van Teel, sepanjang perjalanan Pitung terus menerus menyanyikan lagu Nina Bobo, sehingga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan Pitung terakhir karena tampaknya ajal hendak menjemput. Pitung mengatakan ia minta dibelikan tuak, air nira, dengan es. Permintaannya dikabulkan. Segelas air nira sejuk diminumnya, belumlah kering gelas itu Pitung berpulang. Pitung mati muda dalam usia duapuluh delapan tahun. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.



Si Pitung

Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar mengaji pada Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun- tahun kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.

Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni (sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang galak.

Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir diberikannya santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah lainnya.

Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru. Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu berusaha membujuk orang-orang untuk membuka mulut.

Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi keterangan. Pada suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera kedua orang tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan tubuhnya.

Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi tentang rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

 
 
RANCAG
 
SI PITUNG


Duduk di rume baca alQur’an Turun ke pekarangan maen pukulan

Batavia 1894

Empat pelor nembus di badan
Pondok Kopi tempat pengapesan
Tiga pelor waja satu emas beneran
Cuman kaja Pitung rebah doangan

Marunda Pulo tempat tujuan
Tapi dipegat kumpeni di jalanan
Schout Hijne punya pimpinan
Bawa pulisi bangsa selusinan

Pitung besar di Kebayuran
Lahir di Cikoneng Tangerang punya bilangan
Dari tahun 1896 punya hitungan
Dia sukanya maen di pesisiran

Marunda Pulo Kali Besar Bandengan
Pitung punya daerah rampokan
Duit keras dan permata emas-emasan
Dia jarah bersama Ji’ih bedua’an

Mak si Pitung ogah dimadu
Becere ama laki sudahlah kudu
Kampung Rawa Belong tempat dituju
Pitung pitik tumbuh bermain gundu

Kewajiban pokok mengangon kambing
Kalau gemuk jual di pasar zonder keliling
Nasib apes Pitung tuju keliling
Hasil jualan dirampas maling

Pitung takut pulang ke rumah
Pasti Mak sama Engkong pada marah
Kemayoran dituju dari Paal Merah
Ketemu Guru Na’ipin ahli tareqah

Guru Na’ipin murid Guru Cit Pecenongan
Langgar Gang Kingkit dia punya perguruan
Tarekat Betawi memang selalu berendengan
Sama maen pukulan dan kekebalan badan

Aturannya ini pegangan bela diri
Tak boleh digunakan buat jual aksi
Tapi Pitung amalkan fa’ie
Harta musuh halal buat urusan sabili

Itu jaman banyak pemberontakan petani
Tambun Ciomas Cilegon Condet Tana Tinggi
Petani tertindas perang sabil lawan kumpeni
Pitung ambil peran semacam bendahari

Hasil rampokan bukan dibagikan ke rakyat
Karena bukan jengkol bèwè atawa ikan sepat
Cuma ada satu jalan tolong rakyat melarat
Lawan Belanda dan kaki tangannya yang keparat

Satu kali Pitung tertangkap
Di bui Mester dia disekap
Mendengar Ji’ih dibunuh sebab diperangkap
Pitung loloskan diri dari penjara yang pengap

Demamg Kebayuran yang jadi cumi-cumi
Kepergok Pitung – berusaha lari
Pitung gak kasih jalan barang secenti
Demang mati – usus berarakan didodèt belati

Dung Indung Si Pitung mau tidur
Tidurnya lagi dipangkuan Emak

Pitung dalam perjalanan ke rumah sakit
Menyanyi terus-terusan
Nyanyian Mak menidurkan Pitung alit
Begitu kata Margriet van Teel ahli penelitian

Zegt Pitung – apa kowe minta yang pengabisan?
Schout Hijne bertanya di mobil ambulan
Tuak sama es Tuan
Goed – sebentar kita beli di jalan

Tuak sama es diminum pelan-pelan
Napas Pitung sudah sengal-sengalan
Gelas terjatuh tumpahkan sisa minuman
Pitung temui ajal di perjalanan

Pitung meninggal masih bujangan
Tanpa ratapan dan tangisan
Malah sesudahnya Hijne ketawa cekikikan
Ketika merayakan Pitung punya kematian

Tak jelas benar dimana Pitung dikuburkan
Kabarnya mayat dibelah empat potongan
Ditanam di Paal Tuju Depok dan Bandengan
Makanya dipotong sebab kumpeni kepikiran
Pitung hidup lagi en bangkit dari kuburan

Rancag Si Pitung sampe di sini
Pemberontak tunggal di negeri Betawi
Delapan tahun dia repotkan kumpeni
Sampai Snouck Hurgronye seorang ahli
Melapor Baginda Ratu ejek-ejek polisi
Tak bisa tangkap Pitung – main dukun orang Hindi
Minta pertolongan setan dan peri
Meski pun banyak kontroversi
Pitung jago dan pahlawan Betawi
Beda ama Jampang perampas orang punya isteri
Ketika Jampang digantung orang tak perduli

Mari angkat tangan sepuluh jari
Panjatkan do’a pada Ilahi Rabbi
Moga-moga Pitung diampunkan
Atas segala dosa dan perbuatan
Dan dimuliakan dia punya niatan
Bikin pembalasan atas penindasan

 
 


Read More......

11 komentar:

waw, keren! jaman sekarang ternyata masih ada ye orang yang melestarikan budaya betawi. aye salut :-)
ini bener-bener nambah pengetahuan sejarah betawi. banyak remaja yang kagak tau sejarah budayawan, terutama budayawan betawi. padahal para remaja itu tinggal di jakarta, sekolah di jakarta, dan belajar PLKJ. eh giliran artis luar pada hapal tanggal lahirnye sama lirik lagunye..

makasih ama apresiasinya.
nyo dah kita kenalin, demenin, hargain ama lestari'in kebudayaan leluhur

Makasih, buat bikin kliping tugas sekolah

kalo ada foto lengkap lebih bagus .. bang pitung, bang jampang,, masa foto bang ben ada,,,, jagoan kita kaga ada....

Ijin mao share yak bang..

Salam Kenal

Saya tertarik sekali dengan tulisan ini, kebetulan saya sedang melakukan penelitian pelacakan dialek Betawi Ora yang hampir punah. Jika berkenan, saya ingin bertanya tentang penutur dialek Betawi Ora yang masih ada tersebut untuk keperluan wawancara. semoga berkenan dan terima kasih.

Saya adalah seorang mahsiswa semester akhir sekarang saya sedang membuat skripsi tentang betawi ora di tangerang selatan..untuk memperoleh data yang akurat dimanakah saya dapat mencarinya?

sangat tercengah saya, melihat postingan ini.. sangat luar biasa para tokoh tersebut yang memberi warna di tanah air indonesia

Salam Betawi,

Aye saloet masih ade aje orang yang bisa melestarikan budaya dan sejarah Betawi.
Aye punya saran, tong ditambahkan di blog ini sejarah Betawi, juga beberapa pahlawan Betawi baik yang asli pribumi Betawi maupun yang peranakan Tionghoa yang berani mati2an membela Betawi dari tangan penjajah.Terimakasih

Makasih ama saran ama apresiasinya, bang.
Kami emang udah ngumpulin data-data nyeng abang maksud, dalem hal ini, semua tokoh nyeng berhubungan ama sejarah atawa juga ama kebudayaan Betawi. Betawi Ora khususnya, ama Betawi secara keseluruhan. Kami emang berniat mengungkap semuanya, kaga ada nyeng ditutupin, nyeritain sejarah secara jujur.
Tapi semua itu emang kudu ati-ati, kaga boleh asal nulis. Artinya Kami masi nyari make sumber nyeng bener-bener bisa dipercaya. Jangan sampe apa nyeng Kami ungkapin mala'an ninggangnya jadi ba'an tetawaan orang.
Mohon dukungannya. Makasih

bang Ahmad Syaikhu,
mohon mahap kalu Kami romananya kaga bisa majangin foto-foto tokoh nyeng abang maksud. Terus terang, Kami belon nemuin foto Kumpi Jampang (atawa apa emang kaga ada ?)
Buat foto Kumpi Pitung, ada salah satunya dipunyain ama tokoh sepuh di daerah Banten, tapi tokoh tersebut kaga berkenan kalu itu foto dipublikasi'in kerna atu atawa laen alesan.
Mohon bisa dimaklumin. Mahap dan makasih.

Posting Komentar

Bagi'in ke Facebook Sodara

KAMPUNG BETAWI ORA di FACEBOOK